Kamis, 28 Oktober 2010

catatan ziarah by Victor Riwu Kaho

  • Perkembangan Bahasa Sabu mengalami stagnasi kalo tidak mau dikatakan mengalami kemunduran.  Generasi muda di Sabu hanya dapat menggunakan bahasa sehari-hari, apalagi yang di perantauan.  Bahasa baku yang digunakan secara formal, ketika berbicara dengan orangtua atau setidaknya mereka yang layak dihargai dan dihormati, hanya dikuasai oleh para Mone Ama karena menjadi persyaratan dalam memimpin ritual-ritual khusus.
  • Kesusateraan dalam bentuk cerita-cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai moral tinggi, sudah nyaris lenyap dari peredaran.  Syair-syair kuno tentang asal-usul, karya-karya besar putera Sabu, pandangan orang Sabu tentang TUHAN dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya, dll., bak sumber mata air yang tinggal dua tiga tetes terakhir sebelum benar-benar kering.
  • Tata krama berbasis norma-norma warisan leluhur sudah sulit ditelusuri keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari, selain dalam upacara-upacara adat yang penyelenggaraannya sudah sangat terbatas.
  • Organisasi sosial masih ada dalam bentuk simbol ikatan kekeluargaan tetapi daya ikat dan daya tariknya sudah jauh melemah tergerus oleh 'penyakit' individualisme yang melanda.
  • Knowledge management boleh dikata sudah berantakan.  Kecuali untuk gagah-gagahan, banyak informasi dan pengetahuan orang Sabu warisan leluhur yang dikemas dan disimpan dalam berbagai tradisi dan ritual adat sudah tinggal menunggu nafas-nafas terakhir untuk kemudian punah.  Di belahan dunia lain, sudah muncul kesadaran budaya untuk menggali, melestarikan, dan terus mengembangkannya, di Sabu malah terjadi pelecehan dan pemusnahan yang semakin menjadi-jadi.
  • Kesenian khas benar-benar mandeg, kecuali ragam motif tenun ikat yang berkembang karena tuntutan pasar.  Anak-anak Sabu saat ini cuma bisa menarikan tarian karya leluhur, Ledo Hawu dan Pedo'a.  Mana mampu bikin kreasi baru yang mendunia seperti karya leluhur ini?  Lagu-lagu baru, ada tapi belum ada yang melegenda seperti lagu-lagu tua Ele Moto Pa Ra Liru, 'Bole 'Jarru, dll.
Ba sudara laen, beta yakin ada bahkan yang punya data lebih lengkap dari sepotong uraian hasil ngobrol di ammu Luiwogga ini.  Yang pasti harusnya orang Sabu menyadari bahwa betapa nasib buruk benar-benar sedang mencengkeram orang Sabu dan budayanya.  Bahwa tatanan nilai-nilai luhur seperti pengakuan dan penyembahan kepada TUHAN sang Khalik (masyarakat religius), humanis, terbuka, etos kerja tinggi, sadar lingkungan, kuat dlm memegang prinsip2 benar, adil, jujur, dan disiplin, semua sedang mengalami proses erosi, depresiasi, dan teralienasi.  Orang Sabu yang mau jujur dengan keadaan ini, harusnya mengaku bahwa memang sedang terjadi suatu proses pelunturan (inertia) identitas kesabuan yang memprihatinkan.  Situasi semakin memprihatinkan ketika pada kenyataannya, para pelakunya bukan pihak lain, bukan para pendatang seperti orang Jawa atau Bugis-Makassar, tapi justru kita orang Sabu sendiri.

Dalam percakapan hangat tentang permasalahan di atas, semua yang hadir sepakat bahwa akar permasalahannya bersumber pada tiga mata air besar:
  1. Ini buah negatif dari karakteristik masyarakat Sabu yang terbuka dan independen. Keterbukaan dan independensi orang Sabu membuat mereka mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan ajaran baru, sekaligus bebas dan tidak mau dihambat untuk memutuskan untuk meninggalkan yang lama.  Padahal apa yang baru itu belum tentu yang efektif bagi orang Sabu, sementara yang diceraikan pun belum tentu sesuatu yang benar-benar buruk bagi kebaikan orang Sabu.
  2. Penguasa/Pemerintah yang belum memainkan peranananya dengan baik. Dinas Kebudayaan & Pariwisata dari semenjak Sabu belum menjadi kabupaten, tidak memiliki blue print yang tegas tentang bagaimana pemerintah memainkan peranannya sebagai fasilitator bagi pelestarian dan pengembangan budaya Sabu.
  3. Di luar institusi pemerintah, ada gereja yang juga turut mempengaruhi melalui pendekatan penginjilan ala pietisme.  Penginjilan di Sabu harus diakui membawa kemajuan luar biasa bagi orang Sabu sehingga dapat memperoleh kesempatan pendidikan yang bermanfaat bagi modernisasi pemikiran dan kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik.  Sayangnya, penginjilan di Sabu baru berhasil sampai di situ.  Lebih dari itu, penginjilan ala pietisme telah turut andil dalam pelecehan yang menyebabkan budaya Sabu sbg simbol ke-sabu-an do hawu, teralienasi.  Tersingkir di tanah kelahiran sendiri.  Meski GMIT sebagai gereja terbesar di Sabu telah menyadari kelemahan ini, namun sampai saat ini nilai-nilai penginjilan gaya lama  masih menyisakan dampak yang tidak ringan untuk di atasi.  Mayoritas orang Sabu di mana-mana masih mempersepsikan adat budaya Sabu sebagai produk kekafiran dan karenanya tidak layak dipertahankan, namun tidak punya solusi tatanan baru seperti apa yang mau dikembangkan sebagai gantinya.  Ada juga yang masih tertarik mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianggapnya baik, namun norma2, ritual, dan artefak dibuang saja.
Pandangan masyarakat kristen di Sabu ini, menurut beta menyisakan beberapa problem.

Problem pertama adalah bahwa budaya adalah satu barang yang selalu terdiri atas nilai2, norma ato hukum, ritual2, dan simbol atau artefak.  Budaya adalah rancang bangun yang lengkap dari sistem nilai yang dikemas dalam bentuk struktur hukum tertentu dan diinstitusionalisasikan melalui berbagai ritual dan artefak agar tatanan nilai-nilai tersebut dapat mengalami enkulturasi (pembudayaan) dan pada akhirnya membentuk jatidiri yang khas dari satu bangsa yang membedakannya dari bangsa-bangsa lain.  Budaya tanpa ritual dan artefak, bukan budaya namanya.  Bak tubuh tanpa roh alias mayit.

Problem kedua adalah jika membuang ritual dan artefak, lalu dari mana kita bisa menemukenali nilai2 baik yang mau dilestarikan?  Ritual pe pehhi contohnya.  Orang Sabu menanamkan nilai sportifitas, keberanian menghadapi risiko, dan keteguhan/ketabahan melalui ritual pe pehhi (perang batu) sebagai bagian dari upacara nga’a kewwehu di penghujung bulan ‘bagarae.  Melalui pe pehhi pula org Sabu melepas energi-energi destruktif yang berlebihan hingga berada pada level yang lebih dapat dikendalikan.  Pe pehhi tidak berdiri sendiri tapi menjadi bagian dari rangkaian proses olah batin orang Sabu untuk membentuk jatidiri manusia Sabu yang berani menghadapi tantangan alam, gesit/tangkas,  dan dg ketabahan membentu sikap sportif (fairness).  Pe Pehhi bukanlah olah raga bisa namun bagian dari ibadah kepada sang Khalik, Deo Woro Deo Penynyi, sebagai tanda syukur atas limpahan due yang telah disadap dan dimasak menjadi gula, sumber penghidupan bagi orang Sabu.  Jika kita bisa lebih menghargai ritual orang Sabu, paling tidak melepas sikap arogan yang memandang rendah, maka kita bisa menemukan betapa cerdas para leluhur yang telah membangun institusi budaya macam begini, sehingga berhasil membentuk karakter manusia Sabu yang terkenal berani, tangkas, berdisiplin, dan sangat menghargai sportifitas.  Orang Sabu juga dikenal kuat dalam memegang prinsip kewajaran (fairness), karena itu tidak mudah mengatur orang Sabu untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya tercela (tidak wajar).  Tagal prinsip ini, penjajah Belanda menjuluki orang Sabu sebagai kaum mardijkers.

Kita juga bisa menemukan jawaban, mengapa karakter baik orang Sabu ini kemudian berangsur-angsur hilang, akibat gencarnya upaya-upaya membuang ritual-ritual yang selama ini menjadi alat enkulturasi nilai-nilai luhur tersebut.
Pertanyaan besar dari beta yg belum dijawab adalah jika ritual dan artefak adalah media tumbuh bagi nilai-nilai tersebut, maka ritual dan artefak baru seperti apa yang mau dihadirkan sebagai ganti berbagai ritual dan artefak lama yang dibuang?  Itu berarti kita harus bisa merancang unsur2 tata kelola berupa struktur,  infrastruktur, dan prosesnya agar ada jaminan bahwa tata nilai yang ingin dilestarikan benar-benar terinstitusionalisasi dan bukan malah hilang bak embun terkena sina mentari?  Pertanyaan yang lebih awal lagi, sejauhmana keputusan membuang ritual2 dan artefak budaya memiliki jastifikasi yang kuat, jika kita tidak mengenal dari dekat dan bersentuhan langsung dengan ritual-ritual dan artefak tersebut?

Jalan Keluar Apa?

Saat itu, yang paling keras bersuara adalah maiki Tinus Mangngi Radja, Camat Mesara, katanya: "Sudahlah, kalo GMIT ato gereja lain terlalu macam-macam, kita bikin saja GMIS, gereja masehi injili di sabu!"

Kata-kata maiki Tinus di atas, kalo dicermati adalah ciri khas karateristik orang Sabu hasil pengamalan nilai-nila melalui berbagai norma, ritual dan artefak budaya, yang telah sukses mengakar sampai ke DNA. Sah-sah saja jika maiki Tinus berpandangan seperti ini.  Setiap orang Sabu berhak untuk itu, yang penting bisa dipertanggung jawabkan dan dapat membuka jalan ke arah pelestarian doleh semua lapiran masyarakat.  Karena itu, meski tidak berani klaim sebagai top markotop, beta juga mau ikut urun rembug.

Beta punya solusi adalah kembalikan ritual dan artefak yang ada ke posisinya semula sebagai alat institusionalisasi nilai-nilai unggul warisan leluhur sebagai satu kesatuan dari rangkaian proses enkulturasi budaya Sabu. Bahasa kerennya, lakukan revitalisasi dan refungsionalisasi  budaya Sabu peninggalan leluhur.  Ritual dan artefak2 budaya warisan leluhur ini telah terbukti berhasil membentuk karater manusia Sabu yang khas dan unggul sebelum datangnya penguasa asing di tanah Sabu.  Sembari itu, lakukan akulturasi melalui pemerkayaan (enrichment) nilai-nilai budaya Sabu tersebut dengan nilai-nilai baru (misalnya nilai/etika kristiani) yang dapat mengantarkan orang Sabu memiliki tatanan budaya yang menjadi bagian dari bangsa-bangsa bermartabat di kolong langit ini.   Siapa saja para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses?

Masyarakat Sabu di mana-mana harus menjadi yang terdepan dalam proses ini.  Gereja sebagai bagian dari masyarakat Sabu, harus berperan aktif dalam tahap enrichment, sekaligus menghilangkan pandangan-pandangan destruktif yang tidak kristiani terhadap budaya Sabu (nilai, ritual, artefak) untuk mempermulus berjalannya proses ini.  Untuk itu, gereja harus mau dengan rendah hati menjadi Pelayan bagi orang Sabu, membimbing mereka menemukan dan mengimani adanya keselamatan oleh anugerah TUHAN, bukan oleh  usaha manusia, tanpa harus meninggalkan ritual2 dan artefak yang krusial bagi proses enkulturasi.  Orang Sabu juga tidak boleh menutup diri terhadap peran serta dunia dalam membangun kembali dan mengembangkan budaya ini.  Pemerintah sebagai Penguasa perlu menjalankan fungsi sebagai fasilitator, menyediakan infrastruktur berupa sarana dan pra sarana fisik yang diperlukan, memastikan bahwa keseluruhan proses berjalan secara transparan, dapat dipertanggung jawabkan, bermoral, mandiri, dan wajar.

beta copy artikel ini dari ama Victor Riwu Kaho....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar